Senja Pastel

Seketika air hujan menghujam pucat, wajahmu pudar mengkilat. Ketika angin yang dibawa lagu Melissa Manchester dari radio tua kecil milikmu, hadiah ulangtahunmu baru-baru ini bersibantun bagai ombak laut di Parangtritis, mengingatkanmu saat pertemuan kita di teluk sempit itu, tepat pada pukul lima seperti sekarang, hujan ringan tapi cukum tajam untuk menembus topi dari kain bekas milikmu dengan bros bunga hyacinth yang sudah lemas harumnya.

Kau tertawa seperti orang gila, tapi tidak lebih gila dari jantungku dulu saat memelukmu dalam deras hujan. Pelabuhan mini dengan banyak sekoci kuning tertambat jadi saksi bisu kalau satu ciuman singkat diantara rapatnya rintik gerimis dan tawa kecil dan dehem iseng dapat mengaburkan batas tipis antara realita dan mimpi yang tak logis. Aku dapat jatuh cinta kepadamu selama-lamanya, tetapi sayang, kita bukan karakter di novel Nicholas Sparks! Balasmu dengan tawa serenyah roti croissant.

Tapi sekarang kau masih memandang mobil Volkswagen merah marun yang berdiam di depan pagar rumahmu, kau juga bisa melihat siluet bayanganku di kabin depan yang sedang bingung sambil memegang stir dengan cemas, separuh hatimu ingin menghamburkan pelukan dan berkata, "Tenanglah, sayang. Semua akan baik-baik saja." dengan nada sehangat api unggun di Pangrango. Tetapi separuh hatimu ingin tetap berada di balik jendela kamarmu, mematikan radio tua itu dan masuk ke dalam selimut untuk menunggu hujan reda menghapus habis semua kenangan dan ingatan lalu atau memori bayangan tentang diriku atau kisah kita dahulu yang sekarang sudah kau niatkan untuk lupakan sampai kapanpun.

Dan katamu kita bukan karakter di novel bangsat itu.


2012

Comments

Popular posts from this blog

Bunga-bunga rumput yang mekar pada tanah tandus

Hakikat Pendidikan yang Sebenarnya: Sebuah Opini

Surat-Surat yang Kularung