Lahir

Dari kuncup yang seakan layu, biru ungu kehidupan itu menikam warna matamu hingga bisu cingur mulutmu. Aku tak mau melulu lahir dari rahim yang sama, kataku. Tapi kamu ingin terus menelusup ke dalam ruang pekat itu, liang bau di antara dua bibir gua yang kau tuju. Karena itu aku berbeda pendapat denganmu, aku tak ingin bubur saraf di basah dagingku mengirim impuls yang sama denganmu. Aku ingin menjadi luka merah merekah di lembut kulit putih sang ratu. Aku ingin menjadi salju di kuburan gurun sang waktu. Aku ingin menjadi kata yang berkhianat di kamus milik bahasamu.

Entah, mengapa luka membara di kulit selalu ingin dibebat dengan cepat, menjadi malu bagi sang ratu. Dan salju yang memendam dingin di panas gurun, selalu dihimpit butir geram yang melelehkan kristal esku. Kata yang berkhianat, dibantai lema dan segera dihapus oleh waktu.

Aku ingin tetap lahir seperti ini. Keluarkan aku dari rahimmu di tempat aku tak bisa bernapas dengan rabuku. Buang aku dari liang bau itu di jurang dalam yang tak mengenal matahari. Kosongkan isi perutmu, yakni aku, di tempat kau membuang sisa makan malammu.

Lahirkan aku di liang kuburku.


Comments

Popular posts from this blog

Bunga-bunga rumput yang mekar pada tanah tandus

Hakikat Pendidikan yang Sebenarnya: Sebuah Opini

Surat-Surat yang Kularung