Jalan
Padahal tiap embun di jendela bus kala melewati kumandang adzan subuh di Probolinggo atau ratusan plang kuning Pringsewu bagai keping yang dapat mengisi celah sekosong apapun di hatimu kini. Serta saat kita bertolak dari Ketapang dan bersauh di Gilimanuk, perasan hujan yang mengguyur buritan Satria Nusantara tetap tak berkutik walau tempiasnya menyinggung senyum saat berpose di atas Selat Bali. Hah, betapa indahnya kilau redup Suramadu di kejauhan, meski agak baur karena kepulan asap hangat Popmie yang kuseduh untuk sekadar menghangatkan tangan.
Malam, tapi aku tak mau sebut saat ini malam!
Kelok jalan Gilimanuk-Negara dalam gelita di bawah rindang pohon yang menyerupai terowongan membayangi mataku yang sudah satu-setengah-watt menyala. Dalam bisik lelapku, aku berharap perjalanan ini adalah sebuah kenyataan yang terlalu magis.
Perjalanan ini nyata. Kenangan kami juga nyata. Entah, anggap saja percik itu juga nyata.
Perjalanan ini nyata. Kenangan kami juga nyata. Entah, anggap saja percik itu juga nyata.
2013
Comments
Post a Comment