Tiga Buah Batu dan Sebuah Ketapel

Diri kita adalah episentrum dari realita, tetapi bagaimana dengan orang lain?

Beberapa hal penting terjadi akhir-akhir ini. Dan, aku rasa memang perubahan adalah sesuatu yang konstan, lumrah untuk dialami terutama untuk waktu seperti ini. Dimulai dari getaran itu, kekalutan akan banyak hal, dan rencana-rencana yang tertinggal. Semuanya seakan terus berdenyut, meminta suara, meminta perhatian yang terus terlepas.

Bagaimanapun juga, semua orang percaya bahwa permasalahan yang ditanggungnya adalah permasalahan yang paling pelik. Sama halnya ketika orang-orang beranggapan bahwa epos hidupnya adalah yang paling heroik, paling memiliki makna -- tetapi itu adalah sebuah kewajaran. Manusia dilahirkan dengan sejentik sifat narsistik. Karena hanya pengalaman kita-lah yang memiliki arti. Dunia adalah panggung dari pentas yang kita mainkan. Diri kita adalah episentrum dari realita.

Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, sifat itu berkurang dengan sendirinya. Bukan, lebih tepatnya, kita mulai menyadari bahwa orang lain juga memiliki arti. Bahwa orang-orang memiliki maknanya masing-masing. Narsisme itu mulai melingkupi, mencakup orang-orang terdekat di sekitar kita -- keluarga, teman, kolega, bahkan manusia di belahan bumi lain.

Di sini, saya mulai belajar bahwa manusia memiliki cerita hidupnya masing. Dulu, saya ingat sekali, sesuatu yang sering saya jadikan kontemplasi ketika berada di dalam mobil, atau dalam suatu perjalanan. Apakah bila saya tiba-tiba menyusuri kehidupan orang acak yang berpapasan dengan saya, apakah akan ada sebuah cerita baru yang terbuka? Seperti sebuah buku baru yang belum dibuka sampulnya? Apakah saya bisa memahami cerita tersebut seperti halnya saya memahami epos hidup saya?

Everyone matters -- even humanity as a whole.

Ada sebuah cerita yang saya baru dengar -- mungkin bukan cerita aslinya, tapi lebih kepada improvisasinya -- tentang David dan Goliath. Frase ini mungkin lebih dikenal untuk merepresentasikan kesenjangan luas antara dua hal yang sedang bertarung. Dan, improvisasi ini -- atau penjelasan, mungkin? -- saya dengar dari Malcolm Gladwell, serta mungkin tidak ada salahnya apabila saya berbagi kepada pembaca. 

Bahwa Jalut -- yang diceritakan sebagai raksasa dan memiliki perlengkapan perang yang mengerikan -- sebenarnya mempunyai keanehan apabila ditelisik dengan lebih detil. Pertarungan antara Nabi Daud dan Jalut terjadi ketika peperangan antara kaum Bani Israil dan kaum penindas mencapai sebuah deadlock -- sebuah kebuntuan. Saat itu, Jalut maju dari barisan, menantang seseorang dari kaum Bani Israil untuk maju juga dan melakukan pertarungan satu lawan satu. Nabi Daud kemudian mengajukan diri, dan disetujui oleh Talut, komando kaum Bani Israil. Nabi Daud melangkah ke depan, mulai mendekati Jalut. Jalut pun meremehkan Nabi Daud yang seperti tidak mempunyai persiapan apapun dalam bertempur. Tanpa pedang, tanpa perisai, tanpa baju zirah. Tetapi, tiba-tiba saja, Nabi Daud melontarkan batu dengan ketapel tepat di dahi Jalut, di antara kedua matanya. Beliau mengulangi tembakan tersebut sampai tiga kali, hingga akhirnya Jalut tersungkur dan mati.

Apabila ditelaah lebih jauh, sebenarnya ada sesuatu yang janggal, terutama untuk Jalut ini. Raksasa, atau gigantisme, bukanlah sesuatu yang wajar terjadi. Pun apabila terjadi, gigantisme ini selalu muncul dengan suatu efek samping, dan selalu ada untuk tiap kasusnya. Contoh efek sampingnya adalah, dan terkait dengan cerita ini adalah; keringat yang berlebihan, sakit kepala parah, kelemahan (weakness) dan tuli. Apakah sebenarnya Jalut mengalami hal seperti juga? Apakah sebenarnya, Jalut hanyalah sebuah 'gertakan' dari kaum penindas, agar yang melawannya ciut terlebih dahulu nyalinya? Bisa saja, efek mengerikan yang ditimbulkan dari batu lontaran Nabi Daud adalah karena respon lambat dari Jalut, dan Jalut sama sekali tidak memperkirakannya?

Singkat kata, apabila merujuk pada cerita di atas, adalah bahwa masalah yang awalnya terlihat besar, begitu mengerikan, apabila dibandingkan dengan kita yang 'kasarnya' tidak mempunyai persiapan apapun, kemungkinan hanyalah sebuah batu sandungan sederhana yang dapat mudah dilewati. Masalah-masalah tersebut hanya bersembunyi dibalik rupanya yang mengerikan, yang menciutkan nyali ketika manusia berhadapan dengannya. Padahal, bisa saja tantangan tersebut adalah sebuah hal remeh dan bisa kita kuasai tanpa usaha yang besar. Mungkin, ini juga bisa menjadi pelajaran, bahwa mengeluh, takut sebelum memulai sesuatu, dapat membuat masalah sederhana menjadi 'jalut-jalut yang sebenarnya'. Berpikir rasional dan optimis dapat membantu kita untuk menghadapi masalah yang terjadi dalam hidup kita. Hadapilah masalah dengan tegar, seperti saat Nabi Daud melontarkan tiga buah batu dengan sebuah ketapel ke arah kening Jalut.

Semoga kita semua senantiasa memberikan kebermanfaatan, dan diberikan kelancaran dan kekuatan akan semua urusan yang kita jalani.

___

So do not weaken and do not grieve, and you will be superior if you are true believers. Q.S. Ali Imran (3): 139



Comments

Popular posts from this blog

Bunga-bunga rumput yang mekar pada tanah tandus

Hakikat Pendidikan yang Sebenarnya: Sebuah Opini

Surat-Surat yang Kularung