Penguin Adelie dan Kincir Angin



Kegelisahan.

Penguin Adelie mempunyai tingkah laku yang menarik ketika suatu populasinya tengah menghadapi suatu perairan yang belum pernah dijelajahi. Salah satu penguin tersebut akan melompat terlebih dahulu ke dalam air, dan anggota populasi lainnya akan menunggu -- apakah terdapat bahaya yang mengancam dari area baru tersebut. Apabila penguin yang terjun tersebut memunculkan kepalanya ke permukaan, maka itu adalah pertanda bahwa perairan tersebut aman untuk dijelajahi. Penguin Adelie lain akan ikut terjun, dan melanjutkan pencarian makanan.

Dinamika populasi manusia tak jauh berbeda dengan sekumpulan spesies penguin tersebut, sebuah puncak evolusi yang pada awalnya terdampar pada sebuah tempat yang asing. Terjadi trial and error yang tak berhingga jumlahnya, sampai akhirnya spesies ini mengenal cara komunikasi yang efisien, yakni berupa bahasa dan tulisan. Altruisme adalah fenomena di mana individu dari suatu populasi mengorbankan dirinya (dalam bentuk apapun) demi survivabilitas atau kesejahteraan populasi sesamanya.

Ribuan tahun peradaban manusia, dan akhirnya sampailah pada suatu tahap di mana sifat altruisme ini tidak hanya sebatas survivabilitas saja, tetapi lebih dari itu. Manusia mulai mengkodifikasi ilmu yang mereka punya dalam bentuk bahasa dan tulisan, sehingga altruisme ini mulai bergeser, Bukan bergeser dari tujuan utamanya, tapi dari proses altruisme itu sendiri. Sebuah proses yang kian rumit, tidak hanya sekadar agar populasi 'saya' hidup, tetapi juga agar populasi ini tetap berkesinambungan menghasilkan generasi, serta agar bumi yang manusia tempati ini tetap dapat menampung berbagai kerumitan yang ada di dalamnya.

The Good Country Index adalah sebuah peringkat dan database yang dibentuk oleh Simon Anholt. Indeks ini menunjukkan seberapa banyak kontribusi suatu negara bukan terhadap masyarakatnya, tetapi kepada kemanusiaan secara keseluruhan. Terhadap kesejahteraan, dan -- sampai suatu batas -- bahkan terhadap survivabilitas spesies kita. Bidang yang ditinjau oleh bidang ini adalah kontribusi terhadap Ipteks, Budaya, Perdamaian Internasional, Keteraturan Dunia, Lingkungan dan Bumi, Persamaan dan Kemakmuran, serta Kesejahteraan dan Kesehatan. 

Setelah mengetahui adanya peringkat seperti ini, hal pertama yang saya lakukan tentu melihat 'siapa' yang ada di peringkat pertama, yang berada di peringkat terakhir, serta ada pada peringkat berapa negara saya. Kesan pertama yang saya dapatkan ketika melihat peringkat Indonesia adalah kecewa, singkatnya. Indonesia secara keseluruhan berada pada peringkat 77 dari 163, dengan suatu detil yang menyedihkan -- kontribusi Ipteks Indonesia kepada dunia berada pada urutan 160 dari 163. 

Sebagai mahasiswa, terlebih lagi mahasiswa bidang Ipteks, hal ini tentu membuat sebuah perasaan campur aduk. Apakah ada yang salah dengan pengembangan Ipteks di Indonesia? Apakah selama ini saya belajar dalam sistem pengembangan ipteks (baca: universitas) yang memiliki nomor urut ketiga dari bawah? Kalau dilihat parameter yang mempengaruhi peringkat tersebut secara spesifik, hal-hal tersebut mencakup jumlah mahasiswa internasional, ekspor jurnal, publikasi internasional, jumlah pemenang Nobel, dan jumlah paten.

Apakah ada yang salah dengan beberapa parameter di atas? Lulusan-lulusan universitas sudah membanjir tiap tahunnya, dari S1 sampai S2. Profesor dan Doktor sudah melimpah, tetapi tampaknya hal itu tidak mengubah apa-apa.

Bidang Iptek ini seperti kincir angin. Yang dapat menggerakkannya sebenarnya banyak, melimpah, ada di mana-mana. Tapi kalau potensi itu diam saja, tidak akan terasa apa-apa. Tidak akan ada pergerakan dari kincir angin yang bergeming itu. Bila saja 'angin' itu mulai tahu diri, mulai tahu tanggung jawabnya, kincir angin akan bergerak. Bergeraknya seperti apa? Sesederhana berkarya dari sekarang. Stereotipe peneliti, saintis, atau siapapun yang bergerak dibidang Ipteks harus segera diubah. Oke, memang kenyataannya, alat dan fasilitas masih terbatas. Tetapi kenapa hal tersebut harus dijadikan excuse? Mengapa kita tak henti-hentinya mengutuk kegelapan, bukannya menyalakan lilin yang menerangi?

Kita membutuhkan altruisme yang seperti itu. Sebuah altruisme yang sebenarnya tidak terlalu terlihat, atau memang Indonesia yang belum menyadari pentingnya hal ini. Sesederhana trial and error yang dilakukan oleh penelitian kita, mungkin tak jauh halnya dengan Penguin Adelie yang membuat populasinya dapat sejahtera dengan trial and error tadi. 

Semoga kita dapat menjadi lilin yang menerangi, atau paling tidak, seseorang yang menyalakan lilin.



2016 

Comments

Popular posts from this blog

Bunga-bunga rumput yang mekar pada tanah tandus

Hakikat Pendidikan yang Sebenarnya: Sebuah Opini

Surat-Surat yang Kularung