Memoar

Di jembatan itu, aku memilih ragu. Bukan karena asap berbau-rempah tadi, dan peninggalan batu-batu sederhana di belakang rumah yang aku bilang kemarin. Tetapi sebab sayap-sayap itu telah patah, sayang. Aku akan kembali mungkin tanpa benang yang sedari dulu nenuntunku pulang ke sana. Mencari titik temu di antara dua tabur garam dan sesiung bawang. Memoar yang mengingatkanku tentang masa kecil harum kemangi. Lukisan-lukisan daun jarak, dan bunyi ketuk pelan metronom di seberang dapur.

Aku memilih ragu untuk memberimu kisah. Mungkin karena metafora sudah habis letih kupakai, sampai lemah berdarah. Simbolisme fana yang kuucap hanyalah segelintir merpati yang terbang tak tentu arah. Habislah sudah. Ingatkah kau tentang pertemuan yanng batal terjadi di gedung teater? Saat segalanya masih kaku dan kelu. Tentang waktu yang kita umpat. Tentang ruang yang sungguh bebal. Ah. Mungkin memang kita saja yang masih takut. Saat itu nyaliku pergi seperti serdadu yang kehilangan komando. Atau kau juga begitu?

Ingatlah saat buku harianmu masih separuh terisi.

Comments

Popular posts from this blog

Bunga-bunga rumput yang mekar pada tanah tandus

Hakikat Pendidikan yang Sebenarnya: Sebuah Opini

Surat-Surat yang Kularung