Biologi Sintetik: Eksplorasi Argumen 'Bermain Tuhan' dan Implikasi Lainnya
Peneliti dan ilmuwan tersohor seperti Newton, Darwin, dan Einstein berkali-kali mengubah cara pandang manusia terhadap dunia serta konsepsi terhadap realita selama berabad-abad -- suatu hal yang lazim dilakukan oleh ilmu atau science itu sendiri. Pada abad ke-21 ini, sekali lagi cara pandang kita terhadap dunia ditantang oleh kemajuan rekayasa genetika tersebut. Kali ini, perkembangan biologi sintetik dikaitkan dengan tindakan 'bermain Tuhan' karena dirasa sudah melangkahi suatu batas tipis yang relatif subjektif.
Pada tulisan ini, penulis akan mencoba mengeksplorasi kedua argumen tentang 'bermain Tuhan' tersebut serta implikasi lain terhadap berbagai pendefinisian yang sudah lama melekat.
Jika dilihat dari sudut pandang situasi lain, sebutan 'bermain Tuhan ' ini bukanlah hal yang baru. Sebutan ini juga pernah diaplikasikan dalam berbagai profesi dan situasi khusus, misal siswa yang dinilai oleh gurunya (Skinner, 1939), penentuan penerima transplantasi organ yang dilakukan oleh dokter dan tim medis (Harken, 1968), dan hukuman mati terhadap pelaku kriminal (Gerstein, 1960). Namun, sama seperti pada kasus biologi sintetik, sebenarnya tuduhan 'bermain Tuhan' ini tidak semata-mata hanya didasari oleh argumen religius.
Malah, menurut Grey (1998), Drees (2002), dan Peters (2006), penuduhan ini dilakukan oleh kedua grup religius dan sekular. Tetapi, dalam konteks sekular, sebutan ini digunakan secara metaforis -- untuk menunjukkan bahwa terdapat konsekuensi dari suatu tindakan yang sangat serius dan harus diperhatikan dengan sangat baik. Frase tersebut juga dapat dikaitkan dengan keputusan paternalistik atau autoritarian yang dibuat oleh orang yang berkuasa. Berlawanan dengan pernyataan sebelumnya, beberapa teologis malah menyangkal bahwa pembuatan macam kehidupan baru bertentangan dengan prinsip religius yang sudah ada (Dabrock, 2009). Salah satu contoh lain bersumber dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 35 tahun 2013 yang secara umum menyatakan bahwa rekayasa genetika dan produknya adalah mubah (boleh) asal memiliki tujuan kemaslahatan dan tidak menimbulkan bahaya bagi manusia dan lingkungan.
Malah, menurut Grey (1998), Drees (2002), dan Peters (2006), penuduhan ini dilakukan oleh kedua grup religius dan sekular. Tetapi, dalam konteks sekular, sebutan ini digunakan secara metaforis -- untuk menunjukkan bahwa terdapat konsekuensi dari suatu tindakan yang sangat serius dan harus diperhatikan dengan sangat baik. Frase tersebut juga dapat dikaitkan dengan keputusan paternalistik atau autoritarian yang dibuat oleh orang yang berkuasa. Berlawanan dengan pernyataan sebelumnya, beberapa teologis malah menyangkal bahwa pembuatan macam kehidupan baru bertentangan dengan prinsip religius yang sudah ada (Dabrock, 2009). Salah satu contoh lain bersumber dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 35 tahun 2013 yang secara umum menyatakan bahwa rekayasa genetika dan produknya adalah mubah (boleh) asal memiliki tujuan kemaslahatan dan tidak menimbulkan bahaya bagi manusia dan lingkungan.
Maka, dibanding dikaji sebagai sebuah argumen religius yang eksplisit, akan lebih bijak apabila sebutan tersebut diartikan semata-mata sebagai ekspresi simbolik dari perhatian atau kecemasan yang 'tidak dapat terungkapkan'. Akan lebih baik apabila kita menggeser fokus dari semantika religius tersebut ke arah perhatian/pertimbangan yang direpresentasikannya.
Salah satu 'masalah' lain yang timbul dari perkembangan biologi sintetik ini adalah mengenai pendefinisian "Bagaimana kita dapat menyebut sesuatu sebagai bernyawa atau tidak?" dan "Apakah perbedaan dari sebuah 'organisme' dan 'mesin'?"
Beberapa kemajuan terakhir seperti bulu babi yang dihasilkan dari partenogenesis (reproduksi tanpa pembuahan) artifisial dapat disebut 'bernyawa'. Sedangkan sel artifisial yang dibuat dari senyawa inorganik dan kristal dapat disebut 'tak bernyawa'. Menurut Deplazes dan Huppenbauer (2009:56), biologi sintetik dapat menjadi bidang pertama yang membaurkan batas-batas tersebut. Hal ini disebabkan oleh praktik langsung dari biologi sintetik itu sendiri yang tak hanya menghasilkan yang 'hidup' dari yang 'tak hidup', tetapi juga menggunakan yang 'hidup' untuk menjadi 'mesin' -- di mana secara tradisional mesin dianggap sebagai benda tak hidup.
Dalam masalah bernyawa atau tidak bernyawa, biologi sintetik melakukan pendekatan dari dua sisi tersebut -- sel hidup dan komputer digunakan untuk mendesain sistem sintetik. Hal ini juga didukung oleh penyisipan genom sintetik Mycoplasma mycoides dalam sel lain yang membuat J. Craig Venter -- sebagai pemimpin proyek tersebut -- menyatakan bahwa organisme yang dihasilkan tersebut adalah organisme pertama di muka bumi yang orang tuanya adalah sebuah komputer.
Beranjak dari pendefinisian nyawa dan tak bernyawa yang sudah semakin baur, perbedaan antara organisme dan mesin mempunyai rambu-rambu yang lebih jelas. Canguilhem, seorang sejarawan dan filsuf ilmu, menyatakan bahwa sebuah 'organisme' mempunyai fungsi yang swatantra, atau dapat berjalan sendiri. Sedangkan, 'mesin' masih harus bergantung pada campur tangan manusia. Perbedaan ini kembali ditantang oleh biologi sintetik karena tujuan dari bidang ini adalah mendesain sebuah 'organisme' untuk melakukan tugas selayaknya 'mesin'.
Maka dari itu, biologi sintetik ini mempunyai konsekuensi khusus yang akan menggoyahkan konsep dan evaluasi dari definisi 'hidup' itu. Seperti yang diutarakan Caplan (2007): "While creating new life may not be playing God, it has revolutionary implications for how we see ourselves. When we can synthesize life, it makes the notion of a living being less special". Adalah suatu keharusan bagi kita, untuk tidak memberikan biologi sintetik carte blanche dalam upayanya untuk melewati batas-batas yang telah terpatri.
Sebagai kesimpulan, kecemasan bahwa biologi sintetik 'bermain Tuhan' tidak hanya semata-mata diajukan oleh kelompok religius saja, tetapi juga oleh kelompok sekular. Terlebih lagi, sebutan tersebut mungkin hanya sekadar ekspresi simbolik dari kecemasan berlebihan terhadap penggunaan kuasa yang dimiliki oleh biologi sintetik. Maka, lebih baik kita menggeser fokus ke arah penentuan batas-batas kuasa tersebut dan pendekatan yang etis sehingga konsekuensi yang 'tak terlihat' itu bisa dihindari. Selain itu, pendefinisian antara 'bernyawa' dan 'tak bernyawa' serta 'organisme' dan 'mesin' kembali dibaurkan oleh kemajuan sintetik biologi. Yang perlu diperhatikan adalah konsekuensinya terhadap bagaimana kita mendefinisikan 'hidup'. Bagaimana kita memanfaatkan teknologi dan akal yang kita punya, untuk menghindari noda terhadap hakikat kita sebagai makhluk hidup. Bagaimana kita menjadi manusia yang senantiasa bermanfaat, tanpa membuat konsekuensi yang menginjak kehidupan lain.
Wallahu a'lam bishawab.
"And He placed at your service whatever is in the heavens and whatever is on earth -- it is all as a favor and kindness from Him. Verily, in it are signs for people who think deeply."
-Q.S. Al Jasiyah (45):13
Muhammad Farhan Maulana
SynBio ITB 2016/2017
Referensi:
Baldwin et al. 2012. Synthetic Biology: A Primer. Imperial College Press
Skinner, M. 1939. Playing God. Engl. J. 28(6):471
Harken, D. 1968. One surgeon looks at human hearts transplantation. Dis Chest 54(4): 349-352
Gerstein, R. 1960. A prosecutor looks at capital punishment. J Crim Law Crimnol 51:252-256
Grey, W. 1998. 'Playing God' in Chadwick R (Ed) The Concise Encyclopedia of the Ethics of New Technologies. Academic Press , San Diego, 335-339
Drees, W. 2002. Playing God? Yes! Religion in the light of new technology. Zygon: Journal of Religion and Science 37:643-654
Peters, T. 2003. Playing God? Genetic Determinism and Human Freedom. Routledge. New York.
Deplazes, A. and Huppenbauer, M. 2009. Synthetic organisms and living machines: Positioning the products of synthetic biology at the borderline between living and non-living matter. Syst. Synth. Biol.3: 55-63
Canguilhem, G. 2009. Knowledge of Life. Fordham University Press, New York
Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 35 Tahun 2013: Rekayasa Genetika dan Produknya. http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/05/No.-35-Rekayasa-Genetika-dan-Produknya.pdf
Comments
Post a Comment