Surat-Surat yang Kularung
Halo, Far.
Apa kabar? Semoga kau baik-baik saja di sana. Kudengar kau sudah menyelesaikan tahun kedua-mu di ITB. Aku mau bertanya tentang kabarmu, dan tentang mimpi-mimpimu dulu. Apakah sudah bertemu? Lihat, peganglah benar-benar, benang yang akan kau tuju. Di tanganmu, sudah terlalu banyak benang yang semuanya terurai tak tentu arah. Apa lagi dalihmu kali ini? Mungkin, di malam sebelum kau kembali ke rumah, sebaiknya kau coba kembali telaah mana benang yang akan kau gulung, simpan rapi, dan tinggalkan saat ini. Ada beberapa yang sudah kusut lho. Ada yang sudah putus dan tak kau sadari. Ada pula yang raib entah ke mana.
Hai, kudengar kau sekarang banyak berbicara tentang kaderisasi. Dan segala idealismemu yang masih seluas Kecamatan Coblong itu kau anggap bisa menjadi teladan bagi generasi penerus organisasi yang kau pegang kali ini. Apa yang kau tahu tentang itu? Mengapa kau genggam beban moral, tanggung jawab yang begitu besar, tentang formalitas nilai-nilai, sifat multidimensional manusia yang belum bisa kau abstraksi dan terka itu? Padahal kau sangat benci yang seperti itu.
Lihat, pilah, dan telaah lagi, masih ada tanggung jawab yang kau tinggalkan. Tidak usah menutupinya dengan cara menanggung yang lain. Padahal nuranimu sendiri juga sangat benci hal itu. Kenapa kontradiktif? Banyak hal yang sebenarnya bisa kau lakukan, dan satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah niat, sahabatku. Mungkin itu adalah hal terhalus yang tidak bisa sembarang dijustifikasi, ditebak, dan dimainkan begitu saja. Karena sesungguhnya dari sanalah akar tumbuh sebab perbuatanmu, Far. Dan kulihat, hal tersebut masih seperti api lilin dalam gelap, yang berkerlap-kerlip disindir angin. Bergetar dengan halus. Seperti lampu kejauhan dari sebuah kota kecil di pinggir ingin.
Far, mungkin saranku untuk kali ini, lihatlah kembali dirimu di cermin. Gelar, indentitas, pencitraan, atau label apapun ngga berarti apa-apa. Nurani dan perbuatanlah yang mendefinisikan manusia. Seperti yang kau tulis di buku angkatan osjurmu itu, di saat kau juga berjanji bahwa kau akan lebih banyak melihat ke 'dalam' lagi. Kepada substansinya. Ke arah makna dan hakikatnya.
Tertanda,
___
Aku tidak tahu, dan banyak dari kegelisahan tersebut yang kukira jawabnya belum dapat tersentuh oleh rasioku. Tapi satu hal yang sudah pasti, memang benang-benang itu perlu kuuntai lagi. Aku perlu duduk, istirahat sejenak, dan menelaah benang-benang tersebut, satu per satu. Sampai saat ini, semester 4 menurut saya semester yang paling berkesan -- banyak hal yang bisa dikontemplasi. Banyak hal yang bisa dipelajari. Dan saat ini merupakan momen yang paling tepat untuk menulis dan merefleksikan diri, yakni beberapa jam sebelum pulang ke rumah.
Mungkin banyak jawaban dari pertanyaan di atas adalah karena aku merasa tertantang. Tertantang untuk memosisikan diri pada pertarungan benar dan salah. Pada posisi kritis yang penuh dengan asumsi dilematis dan relung-relung filosofis. Kau bisa menyalahkan apapun, dan membenarkan apapun. Dan kalau dari tulisan yang baru saya beberapa saat lalu: "Mungkin pertanyaan yang paling tepat adalah, kau ada di posisi mana?" Kaderisasi dan hal-hal remeh lainnya yang mungkin menjadi arena baru bermainku bisa jadi merupakan salah satu posisi benar-salah ini. Tetapi, tetap saja salah satu motivasiku untuk berjalan pada benang yang ini adalah karena keinginan untuk mengubah -- mentransformasi. Sebuah kegelisahan yang lahir sejak diriku menginjakkan kaki di tanah yang bernama kemahasiswaan. Sebuah ladang yang menumbuhkan banyak tanya tentang sebab dan akibat. Tentang idealisme dan realita. Tentang konstruksi dan abstraksi. Mengapa 'hal yang salah' masih saja diikuti? Mengapa hal tersebut dijadikan metode? Tahu apa manusia-manusia PSDA kampus tentang pengembangan diri masing-masing individu?
Tetapi ternyata tidak sesimpel yang terlihat di luar, teman. Ada keinginan mengubah, tapi tetap saja nurani ini membutuhkan suatu idealisme untuk bertahan, suatu konstruk kokoh yang menjadi dasar atas segala niat dan perbuatan, tentang pendefinisian benar dan salah. Dan ternyata tidak semua itu menyamaratakan idealisme, nurani, dan rasio manusia! Bahkan dalam diri saja, sudah ada konflik! Bagaimana mau mengurusi anak orang lain? Hal itulah mungkin yang mendasariku untuk menelaah filosofi dengan lebih dalam beberapa bulan ke belakang ini. Berbagai pendapat filsuf dari belahan bumi lain. Argumen-argumen dan proposisi yang bertahan selama ratusan tahun. Justifikasi logis untuk berbagai premis. Dan di sinilah aku sangat menghargai dengan apa yang dinamakan alur berpikir. Dan mengapa aku sangat membenci perilaku asumtif, menduga-duga tanpa sebab, tanpa pemikiran runut. Tetapi di sinilah kembali nuraniku diuji. Ketika kau masih saja melakukan suatu judgement terhadap sesuatu, menjadi sumbu pendek, menjadi tinta yang memperkeruh aliran sungai.
Aku bertanya, itukah yang disebut munafik?
Ah. Mungkin terlalu banyak saja hal yang berseliweran di pikiranku. Terlalu banyak kontradiksi dan paradoks-paradoks yang hinggap, meracuni kepala ini. Tapi aku tak tahu. Mungkin dengan sekadar menulis hal-hal ini, tetek-bengek romantika kemahasiswaan dan segala hal yang mengikutinya, gundah kegelisahan anak 20 tahun ini, bisa jadi pembelajaran dan sesederhana meringankan beban pikiran. Semoga saja semester-semester berikutnya aku bisa lebih banyak belajar dan lebih bijak.
Akhirnya, aku pulang.
5.55 am
Tamansari, Bandung.
Comments
Post a Comment