Surat-Surat yang Kularung
Suatu ketika, hujan bertemu tanah. Petang itu dingin dan bulan sudah terbit dari barat. Aku ingin pulang saja menembus deras air yang turun di kota ini. Tapi aku ingin tetap singgah dan membicarakan apapun selain tentang hal-hal yang biasa saja. Mungkin tentang benda-benda langit, mimpi-mimpi, atau warna pastel di senja yang terlalu sejenak singgah sore itu. Aku adalah keberanian yang ternyata menakutkan, aku tidak mampu berkata-kata. Langkah itu berubah menjadi suatu diam dalam ruang.
Warna warna sejarah menutup mataku. Sementara gelagat angin datang seperti tamu yang tak diundang. Engkau mengetuk pintu yang membuka sedikit, dan hembusannya membuka terlalu lebar. Pernahkah kau merasa seperti ombak yang membentur karang? Aku sudah berkali-kali mengecup batu yang basah. Langit bersatu dengan samudera dalam jubah hitam. Ada cahaya mercusuar menunggu di sana. Tapi, aku mengarahkan kapalku ke arah sebaliknya.
Ini adalah surat yang ingin kujadikan kapal kertas, berlalu dalam alir hujan yang kini hadir dalam setiap percakapan. Sebuah puisi tanpa nama -- karena namamu telah menyandera. Maafkan karena hanya dalam larik ini aku berbicara. Untuk namamu, sudah selalu ada di dalam doa.
2017
Warna warna sejarah menutup mataku. Sementara gelagat angin datang seperti tamu yang tak diundang. Engkau mengetuk pintu yang membuka sedikit, dan hembusannya membuka terlalu lebar. Pernahkah kau merasa seperti ombak yang membentur karang? Aku sudah berkali-kali mengecup batu yang basah. Langit bersatu dengan samudera dalam jubah hitam. Ada cahaya mercusuar menunggu di sana. Tapi, aku mengarahkan kapalku ke arah sebaliknya.
Ini adalah surat yang ingin kujadikan kapal kertas, berlalu dalam alir hujan yang kini hadir dalam setiap percakapan. Sebuah puisi tanpa nama -- karena namamu telah menyandera. Maafkan karena hanya dalam larik ini aku berbicara. Untuk namamu, sudah selalu ada di dalam doa.
2017
Comments
Post a Comment