Tentang Kamar-Kamar yang Tertutup



. . .

Bayangkan ada sekumpulan orang yang sejak lahir tinggal di suatu kamar. Kamar tersebut gelap, tertutup rapat dari dunia luar, tidak memiliki jendela atau pintu, kecuali suatu celah kecil yang membiaskan cahaya matahari ke dalam. Setiap harinya, ada sekelompok parade yang berjalan melewati bagian luar tersebut. Hal ini membuat timbulnya siluet di dalam dinding kamar yang menghadap ke celah kecil tersebut -- seperti petunjukkan bayangan. Orang-orang di dalam kamar tersebut hanya dapat melihat siluet tersebut, berjalan setiap hari, dan kemudian -- setelah berbincang dengan masing-masing -- mulai memberi 'bayangan' tersebut nama.

"Itu adalah bunga!"

"Yang ini namanya terompet!"

"Oh, kalau itu topi!"

Mereka tidak sadar bahwa mereka hanya menamai 'bayangan'. Bukan benda aslinya. Mereka hanya menamai benda-benda yang sebenarnya tidak dapat mereka lihat. Karena, untuk dapat melihatnya, mereka harus berhenti menatap bayangan dan mulai melihat benda sesungguhnya di luar kamar. [1]

. . .

Adalah suatu keniscayaan bahwa manusia mempunyai indera yang terbatas untuk melihat realita. Kalau dibandingkan variasinya dengan binatang-binatang lain -- yang sejauh ini diketahui -- manusia masih kalah lumayan jauh. Beberapa binatang, seperti kelelawar, lumba-lumba, dan paus dapat mengindera dengan gelombang suara yang terpantul dari lokasi sekitar. Suatu jenis ikan dapat mengetahui perubahan tekanan air di sekelilingnya. Bahkan, ada yang dapat mendeteksi muatan listrik di sekitar tubuhnya.

Selain itu, bagaimana kita melihat realita ini juga tidak dapat dibandingkan antar satu individu dengan satu individu yang lain. Apakah kita semua melihat warna 'biru' dengan warna yang sama? Apakah rasa 'manis' juga terasa seperti 'manis' yang saya rasakan?

. . .

Subjektivitas ini yang menjadi permasalahan dalam konstruk sosial manusia. Kadang, realita yang kita persepsikan berbeda dengan realita orang lain yang mempunyai perbedaan pendapat. Semuanya tergantung persepsi. Mungkin saya ingin mengutip salah satu quote dari buku To Kill a Mockingbird.

"You never really understand a person until you consider things in his point of view. Until you climb inside of his skin and walk around in it."

Apa yang terjadi dalam media sosial -- sekarang-sekarang ini --  adalah bahwa kadang manusia tidak terlalu memperhatikan perspektif lain. Seakan-akan bahwa pendapatnya adalah yang paling benar, sehingga mendiskreditkan orang yang menyuarakan argumen tersebut -- bukan argumennya. Sebenarnya, tidak ada larangan untuk hal tersebut. Everything is permitted. Tetapi, yang miris, menurut saya pribadi, adalah bahwa kita mulai mendengarkan untuk membalas lawan bicara, bukan untuk memahaminya. Kita bagai terperangkap dalam gelembung-gelembung. Gelembung ke-aku-an. Di mana gelembung orang lain pasti lebih jelek. 'Kita harus memecahkan gelembung orang lain!' 'Karena itu tidak benar!' 'Maka dari itu mereka pantas di serang!'

Ini baru perkara gelembung orang lain. Belum realita sebenarnya.

. . .

Selalu terjadi.

Apa?

We believe what we want to believe. We see what we want to see. We hear what we want to hear.

. . .

Suatu saat, sekumpulan orang yang terperangkap dalam kamar tersebut berhasil keluar. Mereka kaget karena 'benda' yang mereka namai sebelumnya memiliki bentuk yang sama sekali di luar perkiraan mereka. Karena mereka hanya melihat bayangan. Karena mereka terpaku dalam kamar tertutup itu. Kamar yang tanpa cahaya.


2017


[1] Allegory of the Cave, Plato, dengan perubahan.


Comments

Popular posts from this blog

Bunga-bunga rumput yang mekar pada tanah tandus

Hakikat Pendidikan yang Sebenarnya: Sebuah Opini

Surat-Surat yang Kularung