Sebuah Cerita di Gang Kecil Tanpa Nama
Hilang. |
Katamu, itu adalah monocotyledonae. Sekarang
kita berjalan menyusuri jalan sempit dengan
tiga ratus lima puluh dua kerikil. Itu adalah
jumlah malam saat aku tak bermimpi dalam tidur.
Tetesan air sisa hujan. Kenanga yang mengapung
di genangan.
Rumah gubuk yang terletak di tiga petak sebelum
persimpangan mempunyai lampu depan
yang tak pernah dimatikan. Entah karena
memang tidak ada pemilik, atau sengaja ingin
menunjukkan wajahmu, matahari. Minggu
kemarin, prajurit dari istana awan turun
memberi cinderamata. Kristal salju yang
akan berpendar ketika badai menjelang.
Malam ini, kristal itu menjadi matamu.
Tidak ada musik yang berwarna putih pagi ini. Kupu-kupu
hinggap di tepi genting. Awan turun perlahan membawa air.
Aku masih berharap langit datang
membawa kado berupa jam dinding -- untuk
kamarku yang habis terbakar oleh api bulan Mei.
Supaya waktu dapat terus berdetik pada ruang
yang kutinggalkan ini.
Agar nyanyianmu mampu selalu berbisik pada
temaram lampu yang menemani bayanganku
menulis puisi.
2017
hinggap di tepi genting. Awan turun perlahan membawa air.
Aku masih berharap langit datang
membawa kado berupa jam dinding -- untuk
kamarku yang habis terbakar oleh api bulan Mei.
Supaya waktu dapat terus berdetik pada ruang
yang kutinggalkan ini.
Agar nyanyianmu mampu selalu berbisik pada
temaram lampu yang menemani bayanganku
menulis puisi.
2017
Comments
Post a Comment