Kanvas Putih

Menunggu untuk diisi.
Jalan yang ditumbuhi rerumputan itu kontras dengan lautan bintang di atasnya. Biru-hijau bagai bias warna batu topas. Pesawat kertas warna-warni melayang lemah mengikuti angin, seperti burung camar yang berbaris di pesisir.
Suara adzan menggema rendah di balik lembah — keduanya bergandeng tangan membawa kanvas kosong dan segenggam kuas.

“Di sana, kah?” Bisiknya, supaya tidak lebih keras daripada suara adzan.
“Ya, teruslah berjalan.” Pandangnya lemah seakan tidak tidur semalam.
“Aku sudah buatkan teh hangat dan sebatang biskuit, sambil menunggu bulan pergi ke bawah horizon.”

Langkah mereka pelan, tapi pasti. Lampu jalan menerangi dengan redup, tetapi tetap mengarahkan. Kadang suara-suara jangkrik berbisik iri di balik daun. Bintang masih sama terangnya seperti saat mereka terbit, mengkompensasi jalan setapak gelap yang dilalui.

Setelah sampai, mereka tidak langsung duduk. Mereka meletakkan kanvas, dan menuang air wudhu dalam palet yang telah dibawa. Beberapa saat sebelum iqamah, dan barisan depan penuh terisi, mereka mulai membasuh wajah dan tangan masing-masing dengan air. Kemudian, seraya mengambil palet yang dikepit di sebelah pinggang, mereka mulai melukis pada kanvas kosong itu. 

Entah berupa konstelasi bintang yang hanya muncul sebulan-sekali; warna pelangi dari pantulan air sungai yang mengalir tenang; atau bulan yang datang kepada gunung seperti buah peach yang kelewat besar. Imaji yang terpatri pada kanvas tersebut digerakkan oleh satu nafas yang sama, denyut yang saling mendukung, dan getaran se-frekuensi.

Setelah selesai, digelarlah sajadah dengan gambar-gambar tadi. Takbir pertama dikumandangkan. Suara salah seorang dari mereka terdengar bergetar, tetapi tetap tegas. Bagaimana tidak bergetar? Dunia dan seisinya akan dilimpahkan perlahan.

Seketika, bintang-bintang di seluruh penjuru langit ikut bersujud menyaksikan.




#CintaHakiki 
#GrowingandInspiring 
#GamaisITB2017

Comments

Popular posts from this blog

Bunga-bunga rumput yang mekar pada tanah tandus

Hakikat Pendidikan yang Sebenarnya: Sebuah Opini

Surat-Surat yang Kularung