Surat-Surat yang Kularung #2 - Tendensi Kata

Halo, Far.

Apakabar dirimu? Di sini musim panas akan segera berakhir. Angin mulai bergerak mengetuk jendela kamarku tiap pagi. Bagaimana dengan ruang dingin yang kau tempati, Far? Aku ingin bertanya tentang beberapa hal yang mungkin malah tak bisa kuucapkan ketika kita bertemu. Agak sulit memang, tapi memang kehendak yang di atas toh, tak bisa dipungkiri lagi. Pertemuan singkat itu memang tidak memberikan dampak apa-apa. Walaupun ratusan kemungkinan bait kata telah kurencanakan, tetapi, mau bagaimana lagi? Aku tetap diam dan mengikuti langkah seperti daun di atas aliran sungai.

Bagaimana ceritamu tentang mimpi-mimpi yang dulu kausebutkan, dan ditulis dalam secarik kertas yang kausembunyikan di dalam kotak sepatu? Sudahkah kau rapikan lagi? Memang untuk menulis sebuah mimpi, apalagi pada sebuah kertas, sangatlah mudah. Apalagi membayangkannya pada pikiranmu. Mengisi kanvas kosong dengan abstraksi nalar dan khayal. Tetapi dari sana keluarlah tanggung jawab. Apa yang sudah kau tulis, kau resapi, seharusnya kau juga usahakan dengan sepenuh hati.

Aku dengar perkataanmu yang menyebutkan bahwa kita harus membuat sebuah jalan baru. Karena dari jalan tersebut, akan muncul kemungkinan baru. Sebuah peluang. Dan baiknya lagi, jalan tersebut bisa dilalui oleh orang lain setelahmu. Tetapi, dari sana, muncul sebuah beban moral, menurut pendapatku. Buatlah jalan ini, walau hanya sekecil setapak, dengan sebaik-baiknya. Mungkin untuk sekarang, jalan kecil itu hanya akan dilewati oleh tikus-tikus yang suka berlalu lalang di hutan. Atau kelinci yang senantiasa bermain dibalik rimbun rerumputan. Namun, kau tidak akan pernah tahu. Bertahun-tahun setelah itu, jalan tersebut akan dilewati oleh petani yang ingin mencari bijih kopi di atas pohon. Bahkan, bisa saja banyak penduduk yang melewatinya untuk sekadar mengambil air dari telaga yang tersembunyi. Atau juga, penjahat yang membawa kilat bedil yang tersimpan dibalik pinggang sunyi. Semua itu bisa terjadi. Maka buatlah pagar yang membatasi. Sampaikan dengan jelas mimpi-mimpimu. Untuk apa jalan itu akan digunakan nanti.

Setelah berpikir panjang, aku dapat melihat bahwa kekalutanmu sudah cukup mereda, berbeda dengan waktu sebelumnya. Tetapi yang harus aku peringatkan adalah, bahwa asumsi membunuh perlahan-lahan. Sesedikit apapun, bahkan bagai setetes air dalam samudera, prasangka akan menyebar dengan kecepatan yang tak pernah kau kira. Hindarilah asumsi-asumsi itu, Far. Be true to yourself. Ingat ketika kau SMA, dan mengucapkan sebuah janji di bawah terik panas bersama Sang Saka? Suci. Dalam Perkataan dan Perbuatan.

Kalau kau tanya kabarku, aku akan selalu baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Terus belajarlah, Far, mengambil pengalaman sebanyak-banyaknya. Jatuhlah sesakit-sakitnya, karena manisnya hidup akan terasa setelah lelahnya berjuang. Berdoalah. Karena Tuhan sungguh Maha Mendengar. Semoga dirimu menuai manfaat dari segala apa yang kau lakukan.

Tertanda.
___

Comments

Popular posts from this blog

Bunga-bunga rumput yang mekar pada tanah tandus

Hakikat Pendidikan yang Sebenarnya: Sebuah Opini

Surat-Surat yang Kularung