Refleksi 3 (Tiga) Tahun Lalu

Surat Dari Seroja

:1978

Kukirimkan surat ini -- secuil suara dari bukit yang remang.

Aku pasti sudah lama mengawan di atas pilar-pilar rendah
di batas langit tenggara, ketika kau menyempatkan sejenak
membaca sajak singkat ini di antara kejenuhanmu yang rapat.

Tapi, akhirnya surat pendek ini sampai bisa ke tanganmu
yang kutulis pada saat desing peluru mendera jendela rumahku di tengah lembah.
Atau ketika Baucau menjelma luruhan debu dan bau pesing
ketika burung-burung besi merobek awan-awan kami pagi itu.

Sayang, betapa gelapnya malam di pengasingan ini
begitu gelita memerangkap tubuh kami dalam luka yang tertutup bau besi
Aku sudah mengikat surat-suratmu dulu, dalam satu buntelan
bersama surat ini -- agar mereka tidak ikut hangus dalam dendam
ketika artileri menginvasi lanskap sempit ini.

Kau tahu, betapa janji yang ditepati
adalah hal termahal yang tak bisa kubeli saat ini.
Dili sudah dibumihanguskan, dan Lospalos lumpuh di atas lututnya sendiri
Aku terperangkap di tengah lembah kecil ini.
Betapa sempit sebuah harapan yang Tuhan beri!

Sayang, aku tahu suaraku sekarang akan bergaung lemah di kepalamu,
menyuarakan rintih jauh yang sudah berminggu-minggu keluar dari mulutku.
Tapi waktu semakin sedikit bagiku, bagi semuanya.
Apa perang dingin ini akan setidaknya membekukan cintaku kepadamu?

Tidak, tidak.

Aku menyuarakan surat ini, menyampaikan pesan singkat yang kuingin kau ingat.
Entah ketika derap Indonesia menggempakan tanahku di kejauhan,
atau ratusan ribu nyawa yang mereka hakimi hakikatnya.
Atau jutaan tetes airmata saudara kami di negara mimpi. negeri distopia.


Mungkin cintamu sederhana, Sayang
tapi aku akan selamanya bahagia.


2013

Comments

Popular posts from this blog

Bunga-bunga rumput yang mekar pada tanah tandus

Hakikat Pendidikan yang Sebenarnya: Sebuah Opini

Surat-Surat yang Kularung