Di Braga, Untuk Segalanya
Lihatlah ke langit Braga, saat malam membuka tudungnya. Kau melihat lampu-lampu itu berjalan dari satu atap ke atap lainnya bak kunang-kunang yang rindu keheningan. Dari matamu yang mencerminkan rindu yang sama, ada tanya yang melekat di sana; apa kau akan tetap menyusuri jalan ini bersamaku? Sampai habis ramai dan diam yang ada?
Aku mencoba membaca petak jalan yang kebentuk, dan tak pernah ada tanda yang sama. Puisi yang kau buat tak pernah cukup dalam gelasku, dan aku bukanlah pemabuk yang ingin kau terima. Tapi apakah kata-kata pernah cukup? Atau itu hanya ucapan penyair amatir saja?
Nada itu malu-malu masuk menggengam tanganku, mengajak diriku larut dalam peluknya. Membuka tanya yang ada, membingkai rasa di sana. Tapi seperti yang kubilang, kita tetap pada satu jalan. Suatu saat kita harus menoleh ke belakang, dan kadang berdiam sebentar. Tunggu aku di sana, di Braga. Yang akan abadi menunggu kita.
Yang akan selamanya ada di sana.
2014
Aku mencoba membaca petak jalan yang kebentuk, dan tak pernah ada tanda yang sama. Puisi yang kau buat tak pernah cukup dalam gelasku, dan aku bukanlah pemabuk yang ingin kau terima. Tapi apakah kata-kata pernah cukup? Atau itu hanya ucapan penyair amatir saja?
Nada itu malu-malu masuk menggengam tanganku, mengajak diriku larut dalam peluknya. Membuka tanya yang ada, membingkai rasa di sana. Tapi seperti yang kubilang, kita tetap pada satu jalan. Suatu saat kita harus menoleh ke belakang, dan kadang berdiam sebentar. Tunggu aku di sana, di Braga. Yang akan abadi menunggu kita.
Yang akan selamanya ada di sana.
2014
Comments
Post a Comment