Dimana Engkau, Aspahani?

Tahun-tahun perkembangan saya dalam menulis puisi tentu tak lepas dari pengaruh penyair lain. Salah satu contohnya adalah Hasan Aspahani -- penyair dari Sei Raden yang pertama saya kenal pada tahun 2011.


Kalau saya jujur, saya bisa mengaku kalau beliau mempunyai pembendaharaan kata yang rapi. Rima yang beliau susun juga tak terduga -- kita seperti dibawa membaca novel yang penuh titik balik, penuh intrik dan emosi. Contohnya ada disini:

Kwatrin Gawang Sebenarnya 

Dia pun terbaring sendiri di lingkar tengah lapangan,
Sebuah bola bulat telanjang tergolek di sampingnya.
Tak ada lagi gawang sendiri dan gawang lawan,
Hanya dengus nafasnya dan detak jantung bola.
“Inilah saatnya menyatukan cinta, sebulat-bulatnya,”
katanya kepada bola. Dibukanya sepatu dan kaus kaki.
“Inilah saatnya kita memahami vonis hati: adu penalti,”
katanya pada diri sendiri. Lalu erat didekapnya tubuh bola. 
Telah dilepaskannya nama dan nomor di punggungnya.
Baru ia sadari, “O, betapa lembut rambut rumput lapangan.”
Dan ketika ia telah meringkuk di rahim bola, maka tahulah ia
: kenapa bapak dulu mengajarinya hakikat sebuah tendangan. 
Berapa pertandingan hati ke kaki sudah dikejarnya?
Berapa kartu merah mengusirnya dari lapangan tanya?
Di dalam sunyi bola, rahasia kehidupan membuka terbaca,
Membawanya ke gawang sebenarnya, gol sesungguhnya

Salah satu kelebihan Hasan Aspahani adalah kebiasaannya untuk merelasikan puisi dengan setiap aspek kehidupan; cinta, agama, sosial, dan hal-hal kecil lainnya. Banyak puisi religiusnya yang berpadu dengan kosakata romansa tetapi tidak vulgar -- malah lebih kepada membingkai maksud penulis:

Bibirku Bersujud Di Bibirmu
Wahai, pelayar malam, tiga kapal karam, masam dendam
apa lagi yang kau pendam, sebelum semuanya tenggelam? 
Kita pun kehilangan ombak, pasir dan berabad rakaat,
terlelap dalam perangkap, sekejap malam yang cacat.
Tanpa sujud, bagaimana menyebut ini sebuah tahajud. 
Aduhai laut yang mengenal semua kapal, kau tahukah?
Pada separuh luruh usia tubuh, ada sepertiga subuh
yang tak pernah hendak menunggu jangkarmu berlabuh. 
Dan pada lipatan pantai sajadah yang tak lagi basah
Tajam musimmu makin meranjau: aku kian kemarau 
Aku masih sabar menunggu, kau kirim tanda zikir-zikir,
Semakin mendekat gemetar bibir, pada persujudan pasir,
rukuk musafir, sampai mengerti isyarat ombak terakhir. 
Kau bertanya: hauskah?
- Aku jawab: ya, beri aku air
Kau bertanya: haruskah?
- Aku minta: atau sebaiknya kau usir 
Siapa yang menangis di dermaga? Siapa menghangatkan
laut dengan airmata? Siapa yang melambai di atas palka? 
Siapa yang menghentak kaki berlari ke surut samudera?
Siapa mengarak riak jadi mahagelombang maharaksasa? 
Aku semakin tak sanggup. Dengar. Dendang itu semakin sayup:
kenapa harus gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
kenapa harus gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
kenapa harus gelombang. 
Bibirku bersujud di bibirmu, lalu kita lafazkan zikir pasir.
Bibirku bersujud di bibirmu, hampar mulut yang pesisir.
Bibirku bersujud di bibirmu, pagut sebutir pungut sebutir.
Tapi setelah beliau menutup blognya sekitar setahun lalu -- tepat sebelum menerbitkan kumpulan puisi dwibahasa Mahna Hauri -- saya jadi linglung karena hampir sepi akan inspirasi. Beliau pun juga menutup akun twitternya yang juga sarat akan puisi-puisi 140 karakter ciptaannya. Maka dari itu, identitas puisi saya menjadi semakin terombang-ambing, makin sulit untuk bertahan dari gelombang tinggi penyair lain.

Setahun pun lewat tak terasa, saya jadi memaknai hilangnya Hasan Aspahani dari jagat maya. Sisi positifnya adalah, saya bisa mengembangkan identitas saya sendiri dengan lebih konkret. Bebas dari pengaruh apapun. Saya jadi lebih ingin untuk menghidupkan kata-kata "Seni itu: Selain plagiat, revolusi!"

Saya pun juga bisa belajar untuk berkontemplasi hal-hal remeh, sesuatu yang hanya bisa dijangkau dengan menulis puisi. Bagaimana kita mengetahui diri sendiri dengan membuka kunci hati kita, dengan sesuatu yang bernama bait puisi. Puisi -- dari sebagai sarana saya menumpahkan airmata, menjadi sebuah ladang untuk menuai pelajaran hidup. Mungkin perkenalan saya dengan puisi akan terjalin selamanya, toh saya belum mengenal sekali puisi itu seperti apa. Kami hanya sebatas teman minum kopi di kedai yang tutup jam 10 malam :)

2014


 

Comments

Popular posts from this blog

Bunga-bunga rumput yang mekar pada tanah tandus

Hakikat Pendidikan yang Sebenarnya: Sebuah Opini

Surat-Surat yang Kularung