Perjalanan Wijen-Wijen


Kami sama beradu sumpit dalam satu mangkok putih.
di dalam lidah yang saling menebas putus kalimat masing-masing.

"Siapa yang suruh masakan Jepang?"

Cumi-cumi berwijen pun melayang ke panci kaldu didih.

Karena aku kepingin sumpal bibirmu itu dengan
sepotong manisan mangga berlumer gula merah
sampai habis kecut disitu,
sampai kering bibirmu.

Tapi kau sudah kenyang huruf dahulu,
dan menu-menu sudah habis kau khatamkan
hingga pangkal lidah kau pahitkan.

Sampai puding penutup tiba kau tak juga sentuh
cawan dan mangkok putih itu dan gelas kaca itu tentu
masih bergeming sendirian dengan bayangan dirimu
terpantul-pantul kelu.

tapi tetap kau bayar segala tetek-bengek (dan cumi wijen favoritku tadi)
dengan segumpal mata dan selembar bibir
lewat kasir dekat pintu menuju malam-pagi
hingga kita tahu hakikat sebuah perjalanan dari mulut ke perut mimpi

yang takkan habis bintangnya
yang takkan habis kerlapnya
yang takkan pernah habis wijennya, kasih!

2013

Comments

Popular posts from this blog

Bunga-bunga rumput yang mekar pada tanah tandus

Hakikat Pendidikan yang Sebenarnya: Sebuah Opini

Surat-Surat yang Kularung