Dimana Engkau, Aspahani?
Tahun-tahun perkembangan saya dalam menulis puisi tentu tak lepas dari pengaruh penyair lain. Salah satu contohnya adalah Hasan Aspahani -- penyair dari Sei Raden yang pertama saya kenal pada tahun 2011. Kalau saya jujur, saya bisa mengaku kalau beliau mempunyai pembendaharaan kata yang rapi. Rima yang beliau susun juga tak terduga -- kita seperti dibawa membaca novel yang penuh titik balik, penuh intrik dan emosi. Contohnya ada disini: Kwatrin Gawang Sebenarnya Dia pun terbaring sendiri di lingkar tengah lapangan, Sebuah bola bulat telanjang tergolek di sampingnya. Tak ada lagi gawang sendiri dan gawang lawan, Hanya dengus nafasnya dan detak jantung bola. “Inilah saatnya menyatukan cinta, sebulat-bulatnya,” katanya kepada bola. Dibukanya sepatu dan kaus kaki. “Inilah saatnya kita memahami vonis hati: adu penalti,” katanya pada diri sendiri. Lalu erat didekapnya tubuh bola. Telah dilepaskannya nama dan nomor di punggungnya. Baru ia sadari, “O, betapa lembut rambut